Tuesday, November 29, 2005

Sebuah Anakronisme

(Bukan Prosa - Bukan Puisi)

Hiatus I

Detik demi detik telah berlalu
Tanganku telah kembali membeku
Aku berusaha membuat tulisan ini lebih berkharisma
Mungkin saat ini hanya inilah usaha yang tersisa
Kupaksakan nanar tak mendera mataku
Agar aku tak tampak lelah
dan tulisanku tak akan terlihat lemah
di setiap paragraf, kalimat, kata maupun hurufnya

Sudah tinggalkan saja sampah itu!
Selamanya tak mungkin kau menggapai impianmu dengan tulisan konyol itu

Ibu, kau adalah panutanku
Tetapi mengapa setiap kali aku berulah kau selalu gembira untuk memarahiku?
dan setiap aku berhasil kau selalu menangisi gelak tawaku?
Kini kau kembali menganiayaku dengan tajam hardikmu
Menyudutkan akalku

Anakku, kau buah hatiku yang tiada terkira
Tak mengira kau dapat berkata selancang itu
Ibu telah merasa jalanmu sudah terlalu jauh dari realita
Adalah tugasku sebagai ibu untuk membawamu kembali

Dengar dan lihatlah kemari
Beranjaklah dari tempatmu berdiri
Sesungguhnya kau sedang mengubur impianmu sendiri
Di sinilah kau layak berdiri
Di antara orang-orang hebat
Orang-orang yang mampu berjuang di dalam hidupnya
Jadikan aku dan ayahmu sebagai teladanmu
Niscaya hidupmu akan lebih bermakna

Aku memarahi sikapku yang tak pernah serius mendengar nasehat ibu
Tak lebih besar marahku ketimbang kepada nafsu bengis ibu
Rupanya ibu telah terjerat dalam jejaring bayang semu yang ia sebut kenyataan
Aku lebih tahu dunia yang diperuntukkan untukku
Itulah dunia yang mendekatkanku dengan kenyataan
Duniaku bukan dunia ibuku

Kuberanjak dari ruang gelap pikiranku
Kumatikan processor canggih itu dan berloncatan keluar dari gerbangku
Kuberkendara melesat melaju
Tekadku terukir di setiap pesta pora yang tercipta
Menerobos setiap lampu merah dan menjadikannya hijau seketika
Perjalananku melintasi ruang dan waktu
Akulah penakluk kebosanan, keceriaan maupun kesedihan
SediaKu untuk segala rasa itu


Hiatus II

Telah terdengar gaung membara dari balik setelan itu
Berjalan dengan lambat mengibarkan mahkota yang indah gulana
Langit mengurungku, membekukan nadi untuk berhenti
Aku berhenti!

Tiada kata lain yang akan terucap begitu matanya menerkamku
Aku merasa putus asa dengan kehadiranku di hadapanmu
Berharap dapat menyentuh kata manis itu dengan utuh
Siapakah engkau di dalam kesekaratanku?

Kumulai membelai tubuhmu dengan ucap perkenalan
Aku terlalu bahagia kau tak menolaknya
Aku lanjutkan di terma berikutnya
Kau mengikuti dengan seksama
Ini seperti mengajar di satu kelas kuliah
Aku terlalu kaku dan kau takut menegurku

Bumi membeku selama setengah waktu ke depan
Kita tak melakukan apa-apa hanya merajut angan dan harapan
Sampai waktu kau kehabisan masa dan beranjak menemui janji hidupmu
Kita berpisah dan mengikat janji akan kembali bertemu
Aku harap kita akan selalu bertemu


Hiatus III

Kemana kau setelah makan malam?
Ikutlah kami berlayar di atas langit malam!
Dengan begitu kau terbebas dari luka yang menyerangmu
Akuilah itu sebuah epidemi yang tak dapat kau tolak
Untuk itu kami di sini, untuk itu kami menjagamu

Aku tak seharusnya menjawab pertanyaan itu
Hati ini telah mengeras semenjak awal masa mudaku
Tak pernah kusadari jalan berat yang telah kulalui mengajarkan kebebalan di sekitar lambung hatiku
Bebal itu yang tersarikan ke dalam otakku
Ampasnya hanyalah penyesalan dan kekecewaan

Asumsi itu hanya untuk orang yang terkurung
Aku lebih bebas dari virus pikiran kapitalistik itu
Bebal adalah kebanggaan yang kuhormati melebih diriku sendiri
Untuk itulah aku di sini, untuk itulah aku menjawabmu
Tenggelamlah kau dalam kedangkalanmu

Tak pernahkah sedikitpun kau mendengar apa yang dikatakan orang lain?
Memang itu sudah menjadi kodratmu
Menjadi orang yang kalah, orang yang lemah
Kami tak pernah sudi mengorbankan teman demi pikiran yang terbungkus oleh racun kegilaan

Bahkan aku menghindari kegilaan
Bukan merayakannya seperti yang kalian lakukan

Jangan kau salahkan mereka yang berbahagia hanya karena kau hidup di dunia yang sama dengan mereka

TIDAK!
Tidak sekalipun duniaku mirip dengan milik mereka
Fisik dan materi selalu mengelabui kita dan itulah yang kalian kecap saat ini
Pergilah jika memang menginginkannya
Aku selalu berdo’a untuk setiap langkah, untuk setiap kesadaran kalian melawan nurani


Hiatus IV

Kembali nasib mempertemukan tubuh kita di dalam lingkar sosial yang ambigu
Berputar dan berpendaran cahaya kehidupan di sekitarku
Sehingga yang kubutuhkan hanya bisik rayu dari hatimu yang memberontak

Apakah kau selalu bersikap seperti ini kepada setiap wanita?
Ketakutan terbesarku adalah ketika aku tak mampu menerimamu apa adanya
Kau adalah misteri bagiku
Kau yang mendetakkan jantungku lebih keras dari biasanya
Orang mengira itu cinta dan meletakkan kegugupan di belakangnya
Ketakutan lebih besar dari semua rasa yang kumiliki
Kau terlalu horor untukku

Wahai gadisku
Tak usahlah kau memelihara rasa itu di dalam hatimu
Karena aku melebihi pria mana pun yang terobsesi untuk melindungimu
Maka rasa takut itu akan tergulung sesaat setelah kita menyatukan hati

Kau mencoba katakan kehadiranku adalah surga bagimu
Sayangnya aku tak pernah dapat mengimbangi alam khayalmu yang tinggi itu

Oh, kau menghancurkan hidupku
Setiap harapan memiliki konsekuensi
Aku bukan orang yang tak tahu akan hal itu
Percayalah kepadaku, jangan kata-kataku

“Ya”, itu katamu


Hiatus V

Aku menikmati setiap detik drama dalam hidupku
Kelemahanku hanya aku tak bisa “tidak” menyadari cerita itu
Aku menjadi vertigo ketika memegang peran utama
Ketakutan melebihi segala yang memberiku inspirasi
Itulah takdir sang pencipta alam
Namun terkadang aku tak percaya takdir
Aku menetang segala perumpamaan hidup ini
Kekekalan adalah kekasihku
Abadilah di dalam jiwa yang absurd


Hiatus VI

Kau adalah kursi yang menolak kududuki
Kau adalah lukisan yang menolak untuk kulihat
Kau adalah lautan yang menolak kuselami
Kau adalah kompleksitas yang menolak untuk kupikirkan
Dan aku…
Dan takdirku…
Terasa penuh walau hanya bertutur
Mengubur hasrat
Berpacu dalam donjuanisme akut
Ingin mengikatmu dalam kerenggangan
Yang sudah pasti akan kautolak
Saat kau katakan “ya”
Saat kau berbohong

Titik balik tak membuatku damai
Titik balik tak nian sembunyi di balik pelita
Begitu rupamu mengusik persembunyianku
Kujatuhkan mimpi ini hingga pecah berserakan
Harap, resah, panik, tuduh, geram, nanar
Bercampur dalam adonan kebingungan
Memutusku dalam pemujaan
Karena keagungan memanggilku
Serta merta kutoleh tanpa bertanya
Mengapa? Siapa? Di mana?

Akalku menjulang menembus awan
Dalam cecer darah di atas cerebri
Imajinasi kupersiapkan
Kata-kata kubulatkan
Kebungkaman menjadi musuh
Ketakutan menjadi senjataku
Hiatus VII

Lihatlah!
Lihat siapa yang terbaring di lantai itu
Tangannya menggenggam sebuah belati
Belati berbungkus darah mengering
Darah siapa itu?
Anyir baunya, tak jelas warnanya
Membunuh terbunuh tiada bedanya
Saat kau tenggelam dalam laut merah hatimu

Dua-Tiga zaman menelikung
Aku harus menurunkan kecepatan
Di mana letak rem itu?
Putuskah? Atau aku harus mencari jejak yang lain………… tak terizinkan
Oh, andai dapat kuhancurkan mahligai mimpi itu
Sehingga sinar terang tak lagi terhalangi
Oh, andai dapat kuwujudkan mimpi itu
Sehingga sinar terang membakar kulitku

Sudah saatnya beranjak
Angkat tulang belakangmu
Kau bukan invertebrata!
Masih ingatkah engkau?

Hiatus VIII

Jika kata itu masih singgah
Baru kutemukan jawabnya sekarang
Kini kumerasa bisa, kumerasa binasa
Jauh dari suara sangkakala
Adalah benakku yang menentukan takdir
Perpisahan adalah penerimaan atas seluruh bintik air mata yang terjatuh ke tanah
Pelipur lara, penghapus derita
Menentang seluruh kemajuan alam beserta dengus usik si penjaga lonceng dunia
Akulah raja yang mengatur segala
Menunggui setiap jengkal tanah yang kauinjak
Menghitung langkah saat kau berjalan di atas bebatuan, berbecek ataupun beraspal hitam
Untukmulah tanah itu mengitari dan merangkul duka
Hingga saatnya kau berhenti berjalan dan tertidur selamanya dalam mimpi yang kesekian kalinya kau inginkan
Kau adalah mimpi atas mimpimu sendiri
Saat kau buka mata dan saat kau menutupnya

Hiatus IX

Adzab mendatangiku lebih cepat dari kematian
Enyahlah enyah sang pembuka zaman
Teringatku saat kita menyatukan mimpi kita
Yang kekal dan tak biasa
Berbagi rasa dan kenikmatan penuh suka cita
Namun tetaplah itu mimpi
Mimpi tak memiliki hidup dan mati
Senyawa tubuh kita yang merebutnya

Adalah duka kumendengar kabar baik itu
Wahai kekasih dalam mimpiku
Buang saja benih itu agar kita dapat bermimpi kembali
Aku tak ingin mimpi kita terkotori dosa bertumpuk karung
Tak mungkin kita dapat menanggung dosa itu
Apalagi untuk memeliharanya
Titik

Hiatus X

Aku mendengar berita
Ada kedukaan
Bayangku merajut empati
Namun diriku sepenuhnya dikuasai apatisme tak terkendali

Belum selesai dosaku terhapus
Seorang teman berdosa menuntutku
Kini ia semakin menarik rantai kakiku
Agar tak leluasa terbangku

Sangat menakutkan………….
Sangat menakutkan………….
Kegelapan menggelayut di atas retina
Menghapus seribu pandangan, seribu kenangan
Alangkah senang otakku saat kau katakan tak lagi kau mengandung
Namun kini ketakutanku muncul kembali dalam bentuk yang tak ubah sama
Dengan kemurkaan yang sama
Dengan ketegangan eksistensi yang sama

“Akhiri saja hidupmu agar kau bahagia”
Begitu saut sang pencipta alam yang tak mungkin kutolak
Tekadku membulat, tanganku terkepal
Inilah ketakutanku
Aku harus membuatnya tercerai-berai
Aku harus membuatnya terlelah

Hiatus XI

Terpukau oleh kilatan sinar aneh dari matanya
Aku mengiba meminta pengasihan

Tolong lepaskan aku dari ketakjuban ini
Hentikan segera! Itu terlalu kejam untukku
Jangan siksa lagi aku dengan lanskap abadi itu

Dan kau tetap saja menampakkannya
Lagi…… dan lagi……dan lagi……dan lagi……

Oh bunuh saja seluruh inderaku
Biarlah lidah ini membeku
Biarlah kulit ini melepuh
Biarlah mata ini merabun
Biarlah telinga ini menutup
Biarlah hidung ini mengatup
Asal kau hentikan itu sekarang
Jangan lagi kau menganiayaku

Tolong……………
Berhentilah tersenyum……
Kumohon……

Hiatus XII

Terperikan hati ini
Kala kau lepaskan rasa itu
Berputar layaknya angin tersari dari pusatnya
Lembut dan tak terlihat
Kuhibahkan segala sakitku ke atas tanah
Gersang dan terjal maka kuairi dia
Inginku sungai ini mengalir jauh ke pelabuhanmu
Untukmulah aku menggali
Untukmulah aku menangis
Terkutuklah orang yang menertawakannya
Batu tetaplah batu
Pecahpun tak mengubahnya, ia akan selalu menjadi batu
Umurku telah membatu dan kau tahu itu
Mulai kukumpulkan pecahan-pecahan itu
Saat kau putuskan untuk menyebarkannya kembali
Di atas lututku yang mendidih tubuhku roboh
Di antara bebatuan yang kau sebar
Dan aku hanya mampu menggenggam batu itu
Tidak sedikit, tapi tidak semua
Sesuatu datang dari arah yang tak kukenal
Akankah ia menghantamku? Atau hanya melewatiku saja?
Bersuara menyaingi malam yang sunyi
Angin tak mampu menampungku
Aku dihempaskan saja ke tepi
Agar ia dapat menari di depanku
Membuatku merasa bodoh
Membuatku merasa hebat
Karena kebodohan adalah hal terhebat yang bisa kuperbuat

Hiatus XIII

Senja ini kutemui kau
Bersemayam ku di ufuk mentari
Bidadariku di dalam hati
Kurajut malam nanti dengan keindahanmu
Menuangkan secangkir kopi dalam gelak tawamu
Kunikmati kau dalam agony
Berdesir kala kau biarkan aku berkata
Menjilatimu dengan lidah terluka
Sesaat berhenti nafas ini
Kuarungi malam ini tanpamu

Rona bibirmu yang memelukku
Hanya bingkai keinginan yang belum sempurna
Seharusnya dapat kuurai simpul itu
Membongkar istana kepalsuan di sekeliling parasmu

Oh…datanglah cepat kala kau khianat
Itu bukan hatiku, melainkan khayalmu
Bukan waktuku tuk meminangmu
Bersimbah darah dalam gamang berkepanjangan
Itulah diriku yang mengkhianatimu
Itulah diriku yang berjuang tuk melepasmu
Akulah aku sang pencipta samsara

Ini bukan benci
Melainkan kerinduan yang tak terlintasi waktu
Dan kau takkan pernah mengerti
Walau dalam kepasrahanmu

Hiatus XIV

Kembali kunikmati rasa ini
Membuatku tersenyum demi sebait puisi
Hasratku kian menumpuk
Kau adalah mariyuanaku

Dekap usang dekapan sayang
Memintaku kembali menegukmu
Menciumi setiap jejak keindahan yang kausebar di wajahmu
Tiada henti aku berdoa
Dan aku kembali menciummu
Dengan segala tahta kuasa cinta yang terbakar di hatiku

Meregang untuk kedua kalinya
Kali ini tanpa amukan
Usir kian jauh nitemare itu
More “tite” I hold the night
Dan bisikan berbincang, kelakar pun bercanda

Sekali waktu aku ingin membunuhmu
Agar kutahu bagaimana rasa sakit itu
Namun aku mengalah atasmu
Itulah ujud si stupid cupid
Mengkerdil dan berakal pendek
Sehingga kuyakin………
Mentari menyiangi tanah yang gersang
Mengubur dalam sumber air merindu

0 Comments:

Post a Comment

<< Home